Terbaru
Archive for Juni 2012
YOGYAKARTA UNTUK KE-BHINNEKA-AN
Bhinneka Tunggal Ika,
Berbeda-beda namun tetap satu.
Tidak ada seorang pun yang boleh disakiti karena ia berbeda.
Kita berbeda-beda.
Kita punya hak menjadi berbeda.
Berbeda tanpa rasa takut.
Selama ratusan tahun, Yogyakarta telah menjadi tempat bertemunya orang dari berbagai latar belakang yang berbeda.
Dengan sikap saling menghargai di dalam masyarakat, keragaman ini menjadikan Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia. Tempat di mana berbagai perbedaan dapat hidup berdampingan, menjadi sebuah kesatuan, tanpa harus menjadi seragam.
Namun kondisi ini telah terancam oleh tindakan suatu kelompok masyarakat. Kelompok ini merasa dirinya sebagai yang paling benar dan melakukan kekerasan terhadap pihak yang dianggap berbeda. Inilah saat di mana sikap saling menghargai, Tepo Seliro yang kita miliki diuji.
Apakah kita akan membiarkan tindak kekerasan yang dilakukan suatu kelompok, mengganggu kedamaian di Yogyakarta?
Jika Yogyakarta dapat hidup damai dengan segala perbedaan di dalamnya, maka Indonesia pun dapat melakukannya. Pernyataan ini adalah upaya yang dimulai dari Yogyakarta untuk Indonesia Bhinneka.
Apa yang dapat kita lakukan untuk mendukung Indonesia Bhinneka?
- Bergabung dengan orang-orang yang memiliki tujuan serupa, untuk bertukar pendapat dan membuat pernyataan bersama, seperti aksi "Yogyakarta untuk Indonesia Bhinneka" pada tanggal 24 Juni 2012, pukul 14.30 WIB, di depan Gedung Agung, Yogyakarta. Suatu perubahan dapat dilakukan jika dikerjakan bersama-sama.
- Mewujudkan Tepo Seliro, sikap saling menghargai dengan sesama manusia.
- Tidak setuju dengan sesuatu? Ajak dialog dan bangun kritik. Kekerasan bukanlah jalan untuk menghadapi perbedaan. Kekerasan hanya akan menghasilkan rasa sakit dan kemarahan.
Catatan kecil ini admin kutip dari pamflet yang merupakan bagian dari aksi budaya Yogyakarta untuk Indonesia Bhinneka, 24 Juni 2012, di depan Gedung Agung, Yogyakarta. Aksi ini diprakarsai oleh Forum Yogyakarta untuk Keberagaman (YuK!). Forum YuK! terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil yang bergabung, bergerak dan berjuang dalam sebuah gerakan masyarakat sipil yang menyuarakan demokrasi. Sebuah usaha bersama mewujudkan cita-cita tentang kehidupan damai yang berprinsip pada demokrasi, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
MANIFESTO
YOGYAKARTA UNTUK KE-BHINNEKA-AN
Ke-bhinneka-an adalah kenyataan hidup sehari-hari yang tidak bisa dipungkiri di Indonesia. Para pendiri bangsa merumuskan negara Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila, Bukan berdasarkan agama dan suku tertentu. Rumusan itu melandasi semangat bangsa yang toleran, menghargai keberagaman, dan menjunjung tinggi kemerdekaan berpikir dan berpendapat.
Catatan panjang sejarah menunjukkan bahwa Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan salah satu pusat kebudayaan jawa, selalu memberi ruang bagi keberagaman budaya serta kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Kemampuan itulah yang membentuk keistimewaan Yogyakarta.
Akhir-akhir ini, marak terjadi peristiwa kekerasan atas nama agama, suku dan kelompok. Dan warga Yogyakarta menyatakan:
- Menolak intimidasi dan aksi kekerasan atas alasan apapun, sebab intimidasi dan aksi kekerasan atas nama perbedaan agama, suku, kelompok, gender dan ideologi, sesungguhnya tidak sesuai dengan prinsip ke-Bhinneka-an.
- Mendukung aparat negara untuk menindak berdasarkan hukum, setiap individu ataupun kelompok yang melakukan intimidasi dan aksi kekerasan.
- Mengajak seluruh masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai ke-bhinneka-an, serta tidak membiarkan aksi kekerasan dan intimidasi yang melanggar hak-hak sipil warga.
Oleh karena itu warga Yogyakarta mengajak bangsa Indonesia untuk bersikap mendukung dan menjaga ke-bhinneka-an Indonesia.
Catatan kecil ini admin kutip dari pamflet yang merupakan bagian dari aksi budaya Yogyakarta untuk Indonesia Bhinneka, 24 Juni 2012, di depan Gedung Agung, Yogyakarta. Aksi ini diprakarsai oleh Forum Yogyakarta untuk Keberagaman (YuK!). Forum YuK! terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil yang bergabung, bergerak dan berjuang dalam sebuah gerakan masyarakat sipil yang menyuarakan demokrasi. Sebuah usaha bersama mewujudkan cita-cita tentang kehidupan damai yang berprinsip pada demokrasi, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua, yaitu periode pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan (Amin Rahayu).
PRA KEMERDEKAAN
a. Masa Pemerintahan Kerajaan
- “Budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.
- Perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati, Tohjoyo, Ranggawuni, Mahesa, Wongateleng, dan seterusnya).
- Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain).
- Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang).
- Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso).
- Perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
- Kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.
- Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Balaputra Dewa.
- Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada.
- Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
b. Masa Kolonial Belanda
- Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
- Tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
- Kesultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
- Dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis.
- Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihormati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.
- Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
- Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Tumenggung. Abdi dalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
- Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam Bonjol (1821-1837), Aceh (1873-1904) dan lain-lain.
- Lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cultuur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
a. Orde Lama
- Dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya.
- Pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan, istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara (DKPN). Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
- Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugasnya yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.
- Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
- Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
- Dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
- Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
- Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto.
- Dibentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugasnya yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
- Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.
c. Reformasi
- Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas.
- Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
- Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
- Di samping membubarkan TGPTPK, Presiden Gus Dur juga dianggap tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
- Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
- Di masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan.
- Konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi. Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang notabene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
- Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, dilantik menjadi Ketua KPK. KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu)
bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah “good and clean governance” (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Hasil survei Transparency International mengenai “Barometer Korupsi Global”, menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).( Adnan Topan Husodo :2008)
Sumber:
Buku Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Penerbit: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Buku Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Penerbit: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
MATA KULIAH ANTI KORUPSI
Permasalahan korupsi di Indonesia sudah sampai pada taraf menimbulkan skeptisime semua kalangan, termasuk mahasiswa. Maka dari itu mendesain mata kuliah baru Anti-korupsi agar menjadi sebuah pembelajaran yang menarik, tidak monoton dan efektif bukan hal mudah. Materi tentu penting untuk memperkuat aspek kognitif, namun pemilihan metode pembelajaran yang kreatif merupakan kunci bagi keberhasilan mengoptimalkan intelektual, sifat kritis dan etika integritas mahasiswa. Dosen sendiri harus menjadi komunikator, fasilitator dan motivator yang baik bagi mahasiswa. Peran pimpinan perguruan tinggi juga diperlukan untuk menciptakan kampus sebagai land of integrity yang mendukung efektifitas pendidikan Anti-korupsi itu sendiri.
Korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang berlaku di masyarakat. Korupsi di Indonesia telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Melihat realita tersebut timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya bangsa. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan harapan masyarakat.
Korupsi sebagai “masalah keserakahan elite” telah Mencoreng citra bangsa di mata internasional. Sangatlah wajar apabila kampanye anti keserakahan dijadikan sebagai salah satu upaya memberantas Korupsi. Banyak faktor penyebab terjadinya korupsi, namun faktor tersebut berpusat pada satu hal yakni “toleransi terhadap korupsi”. Kita lebih banyak wicara dan upacara ketimbang aksi. Mencermati faktor penyebab korupsi sangat tepat sebagai langkah awal bergerak menuju pemberantasan korupsi yang riil.
Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa, misalnya harga barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu negara terancam, kerusakan lingkungan hidup, dan citra pemerintahan yang buruk di mata internasional sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan.
Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor internal (niat) dan faktor eksternal (kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dianut, sedangkan kesempatan terkait dengan sistem yang berlaku. Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu. Setidaknya ada 9 (sembilan) nilai anti korupsi yang penting untuk ditanamkan pada semua individu, yaitu Kejujuran, Kepedulian, Kemandirian, Kedisiplinan, Tanggung jawab, Kerja keras, Sederhana, Keberanian, dan Keadilan.
Banyak sekali hambatan dalam pemberantasan korupsi. Terlebih bila korupsi sudah secara sistemik mengakar dalam segala aspek kehidupan masyarakat di sebuah negara. Beragam cara dicoba, namun praktek korupsi tetap subur dan berkembang baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kegagalan pemberantasan korupsi di masa lalu tidak boleh menyurutkan keinginan semua pihak untuk memberantas korupsi. Perlu dipahami bahwa tidak ada satu konsep tunggal yang dapat menjawab bagaimana korupsi harus dicegah dan diberantas. Semua cara, strategi dan upaya harus dilakukan dalam rangka memberantas korupsi.
Tindak Pidana korupsi bukanlah tindak pidana baru di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Istilah tindak pidana korupsi itu sendiri telah digunakan sejak diberlakukannya Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/013/1950. Namun perbuatan korupsi yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia pada hakikatnya telah dikenal dan diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini terbukti dengan diadopsinya beberapa ketentuan hukum pidana dalam KUHP menjadi delik korupsi.
Dalam sejarah tercatat bahwa mahasiswa mempunyai peran penting dalam menentukan perjalanan bangsa Indonesia. Dengan idealisme, semangat muda, dan kemampuan intelektual tinggi yang dimilikinya mahasiswa mampu berperan sebagai agen perubahan (agent of change). Peran mahasiswa tersebut terlihat menonjol dalam peristiwa-peristiwa besar seperti Kebangkitan Nasional tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, lahirnya Orde Baru tahun 1966, dan Reformasi tahun 1998. Maka tidaklah berlebihan jika mahasiswa diharapkan juga dapat menjadi motor penggerak utama gerakan anti korupsi di Indonesia.
Sumber:
Buku Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Penerbit: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Buku Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Penerbit: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi